Rabu, 15 September 2021

Harapan dan Aturan?


Pagi itu langit masih gelap sang surya masih enggan menampakkan diri tidak seperti biasanya pukul 6.30 Wita biasanya dia sudah gagah menampakkan dirinya. Awan pekat masih menyelimuti langit, karena tadi malam hujan turun begitu derasnya sehingga masih terasa hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang. 

Burung-burung yang biasa bernyanyi seolah-olah merasakan dinginnya pagi ini dan tidak terdengar nyanyiannya, sang surya seakan ikut menikmatinya dan masih bersembunyi dibalik awan yg gelap. Sama seperti diriku yang masih sembunyi dibalik selimut.

Teman-teman biasa memanggilku Bayu, sekarang saya duduk di bangku sekolah menengah atas tepatnya di SMAN 1 Kuripan berada di kelas 10 IPS, kata orang dari zaman dahulu sampai sekarang anak-anak IPS biasanya tempat kumpulan anak nakal dan pemalas beda dengan kelas IPA. 

Saya memilih IPS memang karena saya senang dengan ilmu sosial dan tidak suka dengan hitung-hitungan walau memang di IPS juga tidak dipungkiri ada pelajaran menghitungnya. Tapi jika saya masuk IPA aneh rasanya jika saya tidak suka pelajaran berhitung jadi itulah alasannya saya masuk IPS.  Jadi sebenarnya saya kurang setuju dengan pemberian label tentang anak IPS kumpulan anak nakal dan pemalas. 

Seperti remaja laki-laki lainnya yang masih labil dan sedang mencari jati diri,  saya juga masih belum mampu untuk disiplin baik untuk bangun pagi atau disiplin dalam belajar. 

Sehingga prestasi belajarku bisa dibilang biasa-biasa saja. Namun saya hoby dalam bermain voly, postur tubuhku yang tinggi jika dibandingkan dengan teman seusiaku kira-kira 170  cm memberi keuntungan dalam hobyku bermain voly. 

Dan setiap turnamen yg diadakan pada saat saya duduk dibangku sekolah pertama saya selalu menjadi andalan teamku untuk memenangkan setiap turnamen. Sehingga saya mempunyai cita-cita untuk menjadi pemain voly profesional nantinya. 

“Bayu…bayu…bayu… cepat bangun nak ini sudah pagi” suara itu tidak asing lagi ditelingaku, ya itulah suara ibuku. Beliau terus memanggilku karena hari ini saya merasa ngantuk sekali dan belum juga bangun. Karena tidak ingin membuat beliau marah akhirnya saya bergegas bangun dari tempat tidur. Kamar tidurku bersebelahan persis dengan kamar ibuku. Kamar tidurku tidak besar, hanya disekat dengan triplek dan beberapa kayu agar bisa menyerupai kamar tidur.

Luasnya  kira-kira 2x2 meter persegi, alas tidurpun menggunakan tikar plastic biasa, di dalamnya tidak banyak barang yang ada hanya meja belajar kecil yang biasa dibeli di toko seharga 35 ribuan dan beberapa buku yang tersusun di atas lantai, dan beberapa gantungan pakaian untuk menggangtung pakaian kotor. Lemaripun tidak ada bukan disebabkan karena kamarnya yang kecil untuk membeli lemari pakaian itu sesuatu yang mahal buat kami.

Saya tinggal di rumah kakek dan nenek, stelah ibu bercerai dengan ayah ketika saya berumur 3 tahun semenjak itu saya ikut bersama ibu dan bersama kakak laki-laki dari hasil pernikahan sebelumnya memutuskan tinggal di rumah kakek. Karena dialah satu-satunya anggota keluarga terdekat, Kini kakek menderita lumpuh (stroke) dan nenek menderita penyakit diabetes.

Setiap hari ibu saya merawat kakek dan nenek, kami bergantung pada kakak yang sudah menikah karena hanya dialah yang sudah bekerja. Ayah saya sudah menikah lagi dengan orang lain dan kehidupannya juga tidak jauh berbeda dengan kami.

Dengan cepat saya bergegas menuju kamar mandi, biasanya saya sarapan di rumah dulu sebelum berangkat sekolah, karena sarapan sudah biasa saya lakukan sejak duduk dibanggu sekolah dasar. Namun pada hari ini ibu tidak memasak karena tidak ada makanan yang bisa dimasak. Setelah menggunakan seragam sekolah sayapun berpamitan, karena saya tidak sarapan ibu menghentikan langkah saya “tunggu bentar bayu” “iya bu ada apa?” “ini untuk beli sarapan di sekolah ya”

sambil mengeluarkan uang receh dari lipatan kain yang digunakan dan beberapa keping uang logam yang dikeluarkan menggelinding di lantai dengan sigap saya mengejar agar cepat berangkat ke sekolah dan setelah saya hitung jumlahnya Rp 6.000. “Alhamdulillah ada buat sarapan” bisikku. Kemudian saya masukkan ke dalam kantong celana dan melanjutkan perjalanan menuju sekolah.

Karena ibu tidak mempunyai pekerjaan tetap dan hanya sebagai buruh tani, untuk belum bisa membelikan saya motor supaya saya dengan mudah sampai ke sekolah. Dalam hati saya sering minder sama teman-teman yang punya motor sendiri yang bisa digunakan pergi ke sekolah, jalan-jalan sama teman dan menunjang aktivitas lainnya. Bahkan saya terkadang marah dengan keadaan saya mengapa saya tidak seberuntung teman-teman.

Tapi saya sadar untuk tidak memaksakan keinginan saya karena makan sehari-hari saja itu sduah sangat beruntung sekali. Dalam perjalanan pikiran-pikiran ini setiap hari selalu muncul ketika sambil berjalan kaki menuju sekolah.

Dalam perjalan hati saya terus berdebar-debar takut terlambat sampai ke sekolah. Karena aturan yang baru dibuat ini cukup membuat saya deg-degan dalam perjalanan saya terus berharap jika ada orang yang baik hati mau memberikan tumpangan gratis agar cepat sampai di sekolah. Sambil terus berjalan sesekali kepala saya tolehkan kebelakang sambil memperhatikan pengendara motor yang lalu lalang siapa tahu ada diantara mereka yang saya kenal dan berharap dia juga mengenal saya.

Sambil terus berjalan dan memikirkan sanksi yang saya peroleh jika terlambat tidak diizinkan untuk masuk sekolah bagi yang terlambat. Perjalanan saya belum terlalu jauh entah kenapa saya sudah banyak mengeluarkan keringat. Ataukah rasa takut dan kecemasan karena  terlambat yang membuat saya berkeringat begitu banyak?

“entahlah” Sesekali saya menyeka keringat yang keluar dengan tangan. Begitu banyaknya hal yang saya pikirkan tanpa saya sadari akhirnya saya melihat bangunan sekolah tempat dimana harapan dan impian akan saya ukir di sana bersama guru-guru yang setiap hari tanpa lelah dan bosan menuntun dan mengantarkan kami menuju kebahagian setingi-tingginya.

Dengan perasaan senang dan berharap saya tidak terlambat dan bisa belajar bersama pemburu-pemburu ilmu lainnya. Namun apa daya senyum saya berubah menjadi takut. Karena beberapa pemburu ilmu keluar dari gerbang sekolah. Dengan perasaan yang tidak menentu karena begitu banyaknya pertanyaan yang ada mengapa mereka balik dan tidak masuk belajar. “Toni sini” saya memanggil salah satu teman yang tidak jadi masuk belajar.

“kenapa kamu pulang bro?” sapa saya, “iya nih bayu saya disuruh pulang karena terlambat tadi” untuk beberapa detik saya tidak bisa berpikir. “Bayu duluan ya” “mau kemana?” tanyaku, “entahlah mungkin keliling-liling dulu”. “ok hati-hati bro sambil melambaikan tangan?” karena kami tidak terlalu akrab dan beda kelas jadi percakapan tidak berlangsung lama.

Dalam keadaan marah dan kesal akhirnya saya putuskan untuk balik arah dan tidak melanjutkan ke sekolah tempat semua harapan dan cita-cita saya gantungkan, mengapa saya tidak melanjutkan untuk mencoba keberuntungan masuk ke sekolah? "ah... Percuma saja" ucapku sambil bergumam. 

Dengan cepat pikiran itu saya buang jauh-jauh karena berharap bisa diberikan izin masuk kemungkinannya 0.1%.

Karena biasanya keputusan yang sudah dibuat tidak ada alternative solusi cadangan yang disiapkan untuk mengantisipasi masalah yg muncul dari aturan yg sudah dibuat. Sehingga untuk mencobanya adalah suatu hal percuma.

Dalam keadaan marah, kesal dengan aturan yang dibuat oleh sekolah, atau kesal dengan kondisi kehidupan yang miskin dan tidak punyak motor ataukah karena pada hari ini saya telat bangun?.

Banyak sekali yang saya pikirkan, otak saya terasa penuh dengan permasalahan yang ada. Sambil melihat-lihat sekeliling akhirnya mata saya tertuju pada deretan kantin-kantin yang begitu banyak yang berjejer di pinggir jalan, cukup banyak seperti jamur di musim hujan. 

Tempatnya sih tidak bagus tapi lumayan buat duduk-duduk untuk menghabiskan waktu sampai waktu jam pulang sekolah tiba. Karena takut dimarahi ibu jika tahu kalau saya tidak masuk sekolah maka saya putuskan untuk habiskan waktu di salah satu kantin. 

Karena semua pemilik kantin rata-rata tidak perduli dengan kehadiran kami yang memakai seragam sekolah, apakah kami masuk sekolah atau tidak mereka tidak pernah bertanya, yang penting kami datang untuk belanja kami diberi kebebasan untuk duduk sepuasnya.

Akhirnya saya putuskan untuk duduk di salah satu kantin dan membeli rokok, saya bukan pecandu rokok, yang setiap hari harus membeli rokok. Jika ibu tahu saya merokok dia pasti marah besar. "Ah..selama ibu tidak mengetahuinya jadi bukan masalah" saya mencoba untuk menenangkan diri 

Ibu sudah memberi peringatan keras dan mengancam untuk mengembalikan saya ke ayah jika saya tidak mendengarkan nasehat dan ajaran yang sudah diberikan.  Walau keduanya hidup dalam kemiskinan tapi saya lebih memilih untuk tinggal bersama ibu daripada dengan tinggal bersama ayah dan ibu tiri. 

Entahlah setiap saya dalam keadaan kacau, banyak masalah terkadang saya lampiaskan dengan mengisap rokok. Banyak diantara teman-teman yang lain jika ada masalah mereka melakukan hal-hal melanggar aturan agama seperti minum miras dan obat-obatan terlarang.

Beruntung saya masih bisa terhindar dari hal-hal yang dilarang oleh Tuhan karena saya masih mencintai dan menyayangi ibu saya dan tidak ingin mengecewakan beliau.

Berpikir ketika menghisap beberapa batang rokok bisa membuat saya lebih tenang dan melupakan masalah yang ada. Dan tanpa disangka dua teman yang lain yang kebetulan kami satu kelas juga datang bergabung. Alasan mereka tidak diizinkan masuk karena terlambat dan tidak membawa kartu identitas. 

Kemudian kami nikmati keadaan ini dengan saling bercerita. habiskan waktu ini demgan cara kami sendiri namun kami masih punya harapan dan doa semoga semua guruku diberikan kesehatan, tetap semangat dan tetap sabar dalam menuntun kami untuk mencapai kebahagian tertinggi.

Tamat.... 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar