Selasa, 11 Oktober 2022

Pukulan dan Keberkahan

Berawal dari keinginan untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus Sekolah Dasar, inilah kisahku. 

Perkenalkan nama saya Makripuddin, lahir dari keluarga miskin sehingga terpaksa tidak melanjutkan sekolah. Ya, setelah menyelesaikan sekolah dasar keseharian aktivitas dilanjutkan dengan membantu orang tua untuk mencari nafkah. 

Usia dimana seharusnya anak-anak menghabiskan waktu untuk bermain. 

Namun tidak dengan saya, nasib berkata lain setelah ayah meninggal diusia 9 tahun tepatnya pada saat kenaikan kelas 3 sekoah dasar. 

Sehingga menyebabkan semakin terpuruknya perekonomian keluarga. Orangtua yang hanya seorang buruh serabutan, membuat kami harus saling bahu membahu sekedar mencari sesuap nasi untuk bisa bertahan hidup. 

Kami bersaudara sepuluh saya adalah anak ke sembilan, empat diantaranya sudah meninggal dunia diusia balita karena disebabkan kekurangan gizi. 

Dan semua kakak-kakak sudah menikah dan bersama keluarga masing-masing  namun kehiduannya tidak jauh berbeda dengan kami. Hemm … seperti rantai kemiskinan ya?. 

Sebagai orang tua tunggal,  bunda yang menjadi tulang punggung keluarga sering kali harus berpindah lokasi kerja jika di kampung sepi kerjaan. 

Kadang bunda menjadi buruh tani, buruh tambang batu apung, buruh cuci atau kadang juga menjadi buruh pembuat batu bata. 

Hal ini membuat saya sering kasihan dan memutuskan untuk membantu beliau dan tidak berani punya keingin macam-macam. Hal inilah alasan mengapa tidak lanjutkan penddikan ke SMP, karena takut menjadi beban pikiran bunda dan menyusahkannya.

Kebetulan pada saat saya lulus sekolah dasar bunda mengambil pekerjaan sebagai buruh pembuat batu bata di desa yang cukup jauh dari kampung halaman, sehingga terpaksa harus merantau. 

Karena kebetulan saya dekat dengan bunda, setelah lulus SD saya selalu menemani bunda kemanapun bunda kerja, sehingga memaksa untuk ikut bersamanya. 

“Bunda boleh saya ikut?”, 

pintaku memelas, beliau menatapku dengan tatapan yang teduh dan damai. 

Seakan dia bilang jangan, tapi beliau juga tidak tega meninggalkan saya sendirian di rumah.

Lalu beliau mulai membuka bibirnya dengan suara yang berat. 

“Nak kamu jangan ikut ya, kamu di rumah kakakmu saja, tempat ibu bekerja sangat jauh dan belum tentu ada tempat tinggal yang layak di sana”. 

Ucapnya sambil menahan air matanya, karena saya sempat mencuri pandang mata beliau berkaca-kaca.

Karena saya memaksa untuk tetap ikut akhirnya beliau dengan berat hati menyetujuinya. 

“Ok kamu boleh ikut tapi jangan mengeluh ya, ketika nanti tempatnya tidak nyaman?”. 

Pesan beliau. Dan sayapun mengganggukan kepala tanda setuju. 

Benar saja setelah sampai di tempat tujuan, aku sempat terdiam karena melihat kondisi lokasi pembuatan batunya berada di atas sungai yang jauh dari perkampungan.  

Semua pekerja tidur beralaskan tikar dan kardus sedangkan atapnya terbuat dari terpal, hampir mirip dengan pengungsian korban bencana alam.

Karena saya sudah berjanji dengan bunda untuk tidak mengeluh semuanya saya lewatkan dengan tawakkal dan bersabar. 

Hari-hari saya lewatkan untuk membantu bunda membuat batu bata, terkadang jika libur karena hujan atau memang tidak ada yang dikerjakan, saya sering membantu seorang anak pengembala untuk mengembalakan dombanya yang begitu banyak. 

Hal ini saya lakukan biar saya bisa numpang makan di rumahnya setelah seharian mengembalakan dombanya. 

Maklum hasil membuat batu bata terkadang tidak cukup untuk sekedar makan sehari-hari dan sering membuat saya dan bunda untuk berpuasa karena tidak ada beras untuk dimasak. 

Sudah hampir 1 Tahun saya membantu bunda membuat batu bata dan menjadikan saya mahir.  

Sebelum beraktivitas, biasanya saya diam-diam sering duduk di pinggir jalan sendirian hanya sekedar melihat aktivitas orang-orang di jalan yang sedang lalu lalang, mungkin menurut saya itu adalah hiburan.

Saya senang melihat anak-anak memakai seragam sekolah dan berangkat ke sekolah untuk menuntut ilmu, terkadang saya sering bertanya dalam hati. 

“Kapan ya saya bisa sekolah seperti mereka?”, dan tanpa sadar berdoa kepada Tuhan. 

“Ya Allah berikan saya kesempatan untuk menuntut ilmu”. 

Pintaku dalam doa, dan setelah itu saya kembali membantu bunda. 

Perasaan ingin sekolah saya pendam sendiri setiap hari dan tidak berani menyampaikan kepada bunda karena takut untuk membebani pikirannya.

Setelah 11 bulan lamanya saya membantu bunda, saya menyampaikan niat untuk pulang kampung sementara waktu, dengan alasan kangen dengan teman-teman. 

Sebenarnya saya tidak tega meninggalkan bunda sendirian. Kemudian pada saat istirahat niat saya untuk pulang kampung saya utarakan ke bunda. 

Beliau sedang duduk sambil memegang betisnya, kemudian saya hampiri dan seperti biasa saya selalu memijat kaki bunda setelah seharian bekerja. 

Kemudian saya membuka perbincangan, “Bunda, saya mau”, 

saya terdiam sejenak tidak kuasa berkata “Mau apa nak?”. 

Suaranya lembut bertanya kepadaku.

Kembali bunda bertanya, “Kamu mau ngomong apa nak?’. 

Kemudian saya memberanikan diri untuk bicara. 

“Gini bunda saya ingin pulang kampung sementara waktu”. 

Beliau kemudian menatapku dan tersenyum. 

“Iya sayang Boleh, kapan rencananya mau pulang?”,  

“Kalau bisa besok atau lusa bunda” 

kemudian beliau menganggukkan kepala, 

“Nanti kamu saya titipkan ke Pak Ahmad ya”. 

Dalam hati ada perasaan senang bisa pulang kampung dan juga sedih karena meninggalkan bunda bekerja sendirian diusianya yang sudah tua.

Tibalah waktunya saya pulang, saya dititipkan bersama Pak Ahmad kebetulan beliau mau mengantarkan isterinya pulang kampung. 

Isteri Pak Ahmad satu kampung dengan saya dan Pak Ahmad sendiri adalah bos pemilik usaha batu batanya. 

Saya naik mobil Pikup milik beliau. Saya tidak masalah duduk di belakang kebetulan saya suka naik mobil dengan bak terbuka, karena jika naik mobil tertutup saya sering mual alias mabok kendaraan. He. He… maklum orang kampung. Setelah berpamitan dan memeluk bunda, kamipun berangkat. 

Bunda tak kuasa menahan sedihnya beliau kemudian meneteteskan air dan segera di seka dengan tangannya sambil tersenyum dan berkata. 

“Hati-hati ya nak”, semoga Allah selalu memberi rahmadNya padamu”, 

“Amiin ya robbalalamin". 

Jawabku dalam hati. Sebenarnya akupun mau menangis tapi berusaha  kutahan agar bunda tidak semakin sedih.

Pulang kampung inilah awal perjalanan bisa mondok atau sekolah di Pondok pesantren. 

Kok bisa? 

Ya sekenario Allah SWT tidak bisa ditebak dan kita sebagai hamba hanya bisa menjalaninya. 

Ceritanya seperti ini, setelah sampai di rumah  dan saat bermain bersama teman-teman kebetulan diantara teman saya itu ada anak yatim, yang nasibnya tidak jauh berbeda dengan saya. 

Kemudian ada seorang ustaz di kampung tiba-tiba menghampiri kami yang sedang bermain.

Kemudian beliau menawarkan teman saya itu untuk sekolah dan harus mondok, beliau menjelaskan kepada teman saya alasannya mengajaknya untuk sekolah. 

Dari penjelasan beliau yang saya dengar. beliau punya jatah satu anak yatim yang bisa di sekolahkan di pondok dan gratis, dan setelah selesai menjelaskan teman saya panjang lebar , lalu beliau berkata, 

“Apakah kamu mau?”. 

Kata ustaz tersebut membujuk teman saya ini. Dalam hati saya berkata 

“Heemm … kenapa saya tidak ditawarkan”. 

Teman saya yang ditawarkan ini langsung menjawab tidak, tapi sepertinya ustaz ini tidak berputus asa untuk membujuknya kemudian teman saya ini ajak untuk menemui ibunya. 

Dalam hati saya berharap, semoga saya mendapat kesempatan yang sama.

Setelah beberapa saat, ustaz tersebut kembali. Terlihat jelas wajahnya terpancar kekecewaan. 

Dan harapan kembali supaya ditawarkan hal yang sama. 

Setelah beliau dekat, tanpa basa-basi beliau langsung memanggil saya. 

“Arief sini katanya” dengan cepat saya berlari ke arahnya, 

“Ya ustaz ada apa ya”, saya pura-pura bertanya. 

“Gini, apakah kamu mau mengantikan Andi untuk sekolah di Pndok?”. 

Ya,  Andi adalah nama teman saya yang menolak tawaran ustaz ini. 

Dengan cepat saya jawab, “Ya saya mau asalkan tidak bayar”. 

Dan beliaupun menjawab sambil tersenyum dan berkata,

“Ya kamu sekolahnya gratis tidak ada bayaran”.

Beliau juga menjelaskan, makan, minum dan pakaian sekolah serta buku tulis akan diberikan secara gratis, jika saya mau nanti sore saya akan diantarkan beliau ke pondok. 

Sontak saja membuat saya terkejut campur bahagia karena doa dan harapan saya menjadi kenyataan. 

Yang membuat saya terkejut, karena keberangkatan ke pondok yang begitu cepat dan belum ada persiapan. 

Dan tidak mungkin untuk mengabari bunda karena pada saat itu belum ada hanphone.

O … ya nama ustaz  tersebut adalah ustaz Zamal, setelah ustaz Zamal memberi penjelasan saya diminta untuk mengabari kakak. 

Dengan rasa syukur yang mendalam saya berlari meuju rumah kakak dan mengabari kabar baik ini. 

Awalnya dia sempat ragu karena tidak ada persiapan, seperti kebanyakan orang jika mau mondok biasanya akan butuh biaya yang banyak. 

Mulai dari pakaian, peralatan mandi, tidur, lemari dan sebagainya. Wajar saja kakak yang saya kabari terdiam karena beliau juga bukan keluarga yang berada, suaminya hanya seorang buruh bangunan. 

Tapi untung saja ustaz Zamal datang dan menjelaskan semuanya. 

Dan membawa beberapa pakaian bekas milik anaknya, setelah saya buka ada pakain seragam sekolah, sepatu dan beberapa potong pakaian untuk bermain dan shalat. 

Walau agak kebesaran saya tetap bersyukur menerima pemberiannya.

Setelah shalat asyar, sesuai waktu yang sudah disepakati saya diantarkan oleh Ustaz Zamal ke pondok menggunakan delman pada saat itu. 

Kakak saya tidak ikut mengantarkan karena belum meminta izin ke suami dikarenakan belum pulang dari tempat kerjanya.  

Dan saya tidak lupa menitip salam kepada kakak untuk menyampaikan permohonan maaf karena tidak bisa menemani bunda bekerja. 

“Kak titip salam buat bunda nanti pas pulang ya, dan jangan lupa untuk mendoakan adik”. 

Pintaku pada saat berpamitan.

Sesampai di pondok pesantren, saya diantarkan ketempat administrasi dan bertemu dengan pengurus pondok pesantren setelah semua berkas beres, usataz Zamal kemudian berpamitan untuk pulang. 

“Baik-baik di sini ya” 

katanya, dan sayapun mengucapkan terima kasih. Kemudian saya diantarkan oleh salah satu ustaz yang belum saya kenal namanya untuk menuju kamar. 

Setelah saya ditempatkan di kamar yang sudah ditentukan dan menjelaskan semua aturan pondok beliau kembali ke kantor bagian administrasi.

Saya ditempatkan di kamar Abu Bakar, isinya sekitar 12 santri luas kamarnya seukuran ruang kelas, di tengah ada lemari berukuran besar  berbentuk meja dan bagian sampinya memiliki pintu-pintu yang sering kami sebut LEJA (lemari meja), rangjang yang terbuat dari besi berjejer rapi di sudut ruangan, beberapa lemari juga berdiri tegak di samping ranjang santri. dan beberapa lukisan terpampang di dinding. 

Warna cat tembok biru tua dikombinasi warna putih memberi kesan menenangkan jika memilih untuk tetap berada di kamar sekedar mengaji atau membaca buku. Pentilasi udaranya juga sangat baik karena jendela yang besar memberikan kebebesan udara segar untuk masuk.

Kondisi saya dengan santri lainnya memang berbeda saya lihat mereka banyak dari kalangan orang berada. 

Namun saya tidak pernah minder dengan semua itu, karena ini adalah harapan dan doa saya selama ini untuk bisa sekolah, menurut sebagian santri aturan pondok pesantren ini sangat ketat dan banyak kegiatan sehingga tidak ada waktu untuk bermain. 

Sehingga ada beberapa santri yang berhenti mondok karena tidak tahan dengan semua tata tertip pondok. 

Semakin hari saya sudah terbiasa dengan kehidupan pondok, mulai dari bangun jam 3 untuk sholat tahajjud, kemudian dilanjutkan dengan mengaji atau belajar. 

Dan selanjutnya sholat subuh secara berjamaah kemudian setelah itu kita belajar bersama dengan beberapa ustaz, yang dibagi berdasarkan tingkatan kelas santri untuk belajar kitab-kitab dan ilmu fiqih dan akhlaq. 

Setelah pukul 6 kita mandi dan memakai seragam kemudian sarapan dan setelah itu kita melanjutkan belajar di sekolah formal.

Setelah pulang dari sekolah kita makan siang kita istirahat sebentar kemudian nanti bangun untuk melanjutkan shalat asyar. Setelah shalat magrib kita belajar nahwu dan syarof, atau di hari-hari tertentu kita diajarkan untuk pidato, tilawah dan sebagainya. 

Dan semua kegiatan sudah terjadwal dan dilaksanakan secara rutin. 

Sedangkan semua shalat dilaksanakan secara berjamaah kecuali shalat sunnah. Jadi semua santri harus mengikuti aturan pondok jika tidak akan mendapatkan sanksi seperti, digunduli, membersikan halaman pondok, sampai harus membayar denda. Sanksi yang diberikan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh santri. Santri boleh tidak ikut rutinitas pondok jika sakit atau mendapatkan jadwal piket menerima tamu di pintu gerbang. 

Demikianlah kebiasaan semua santri yang ada di pondok tempat saya sekolah.

Dipondok inilah saya banyak belajar hal mulai dari kedisiplinan, persaudaraan, tanggung jawab dan tentunya yang paling penting adalah belajar ilmu agama untuk bekal di dunia dan di akhirat kelak. 

Namun ada yang berbeda Kisah yang saya alami di pondok dan tidak sama dengan teman-teman atau santri yang lain. 

Selama di pondok saya tidak pernah dikunjungi oleh bunda dan saudara-saudara saya. Saya hanya bisa bertemu dengan keluarga jika ada libur panjang dan itupun saya tidak pernah dijemput dan biasanya dari pondok saya pulang jalan kaki. Mungkin mereka bukanya tidak mau menemui saya atau tidak perduli. 

Karena mungkin tidak enak untuk datang jika tidak ada oleh-oleh yang dibawa. Terkadang sebagai manusia biasa, terkadang ada rasa cemburu dengan santri lain melihat mereka dikunjungi oleh orang tuanya dan membawakan mereka makanan, pakaian atau uang belanja.

Sesekali ada orang kaya yang baik hati, mengundang santri anak yatim untuk menghandiri syukuran keluarga mereka dan kamipun terkadang diberikan uang jajan dan bisa makan enak. 

Hal ini terkadang membuat kami terhibur dan senang mendapatan momen seperti ini. Namun ada cerita yang sangat memilukan yang sampai sekarang tidak lepas dari ingatan, dimana saya dipukul oleh salah ustaz yang memang terkenal sangar dan suka memukul santri jika dianggap salah. Kejadiannya pada saya itu musim layangan dan sering ada layang-layang putus dan jatuh ke pondok. 

Kemudian saya mendapatkan satu. Kebetulan saya suka bermain layang-layang sejak sebelum masuk pondok, karena masih anak-anak  jiwa ingin bermain masih ada. Kemudian saya putuskan untuk bermain bersama santri yang lainnya.

Menurut saya tidak ada salahnya jika saya bermain toh tidak ada kegiatan pondok yang saya tinggalkan karena ini adalah jadwal istirahat tidur siang. 

Namun apesnya, kami dilihat bermain layangan oleh ustaz yang ganas tersebut, sebenarnya ustaz yang lain tidak mempermasalahkan. 

Kemudian beliau berlari kearah kami dengan membawa sebilah bambo dan berteriak memanggil nama saya dengan keras. 

“Makripuddin… jangan lari kamu!”. 

Ternyata santri yang lain sudah berlari meninggalkan layang-layang mereka dan baru saya sadar jika saya sendirian.

Sebagai santri yang taat kepada guru akhirnya saya diam dan menunggu keputusan beliau. 

Tidak disangka saya langsung dipukuli secara bertubi-tubi oleh ustaz tersebut. Saya hanya bisa pasrah dan menahan rasa sakit yang amat sangat sambil menangis. 

Setelah puas memukul saya, ustaz tersebut berlalu begitu saja. Sambil berpesan. 

“Jangan main-main lebih baik kamu belajar”. 

Karena sakit yang  begitu perih dipunggung, tanpa sadar saya sudah tergeletak di tanah.

Setelah sadar saya sudah berada di atas tempat tidur. 

Ternyata saya pingsan untuk beberapa saat karena tidak kuat menahan rasa sakit. 

Ya memang semua santri takut kepada beliau. Kemudian baju saya dibuka dan diberi obat, beberapa santri  menangis melihat punggung saya yang penuh dengan luka. Dan ada diantara mereka yang menyayangkan kenapa saya tidak berlari. 

“Kenapa kamu tidak lari?”, 

saya hanya menjawab sambil menahan sakit dipunggung saya dengan lirih. 

“Aduh … mungkin ini memang sudah takdir saya”. 

Pada saat mandi rasa perihnya semakin menjadi-jadi, namun hal ini tidak membuat saya menyerah untuk menuntut ilmu.

Keesokan harinya setelah sholat subuh secara berjamah kita lanjutkan belajar ilmu fiqih bersama ustaz yang memukul saya ini. 

Ya beliau adalah ustaz Misbah, seperti biasa setelah mengaji biasanya santri diminta untuk membersihkan kediaman beliau, maklum isteri beliau tinggal bersama-anaknya di rumah mereka sedangkan ustaz Misbah mengabdikan diri di pondok. dan seperti biasanya saya yang selalu ditunjuk oleh ustaz Misbah membersihkan kediaman beliau. Padahal kemarin saya sudah habis-habisan dipukul seperti tidak pernah terjadi apa-apa. 

Beliau berkata kepada semua santri 

“Kenapa saya pilih makripuddin, karena hanya dia yang paling bersih hasilnya”. 

Jadi selama ini menurut beliau hanya saya yang paling bersih membersihkan kediaman beliau sedangkan santri yang lain terkadang asal-asalan.

Seperti biasanya saya dengan ikhlas membantu semua ustaz yang meminta tolong kepada saya, karena menurut ilmu yang diajarkan oleh semua ustaz. 

Ilmu yang baik adalah ilmu yang barokah, ilmu yang barakah walau sedikit akan bermanfaat dan jika tidak barokah biar banyak tidak akan berguna. 

Santri bisa mendapat ilmu yang barakah ketika gurunya juga ridho kepada muridnya. Sehingga saya tidak berani marah apalagi demdam kepada guru atau ustaz yang sudah memberikan ilmunya. 

Dan setelah menyelesaikan tugas beres-beres seperti mencuci piring, menyapu kamar tidur, ruang tamu dan halaman, saya pamit untuk sekolah. Saya melihat beliau masih duduk di ruang tamu sambil membaca kitab. 

“Ustaz semua sudah bersih, izin ke sekolah ustaz”, 

beliau menganggukan kepala dan menyodorkan sebuah peci kepada saya. 

“Ini kamu pakai ya”, sayapun mengambil pemberiannya dan mengucapkan terima kasih. Beliau juga berkata. 

“Semoga kamu sukses ya nak dan jangan lupa rajin belajar”. 

“nggih ustaz”.

Balasku kemudian segera undur diri karena takut terlambat ke sekolah.

Demikianlah kehidupan yang saya jalani sekolah di pondok pesantren dan hal yang paling saya ingat juga dari pesan ustaz-ustaz.

Jika kita berdoa pada saat sujud terahir dalam shalat insyaAllah doa kita mudah dikabulkan. 

Dan sejak saat itu saya selalu berdoa pada saat sujut terahir meminta untuk bisa jadi Pegawai Negeri dan alhamduillah saya bisa menyelesaikan pendidikan S1 sesuatu yang mustahil untuk orang-orang seperti saya, tapi bagi Allah tidak ada yang mustahil. 

Dan Allah SWT selalu memberi bantuannya dengan cara yang kita tidak sangka-sangka, sehingga dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas selalu berusaha maksimal dengan rajin membaca dan berdoa kepadaNya. 

Setelah menyelesaikan S1 pendidikan sosiologi dua bulan setelahnya ikut tes CPNS dan Alhamdulillah lulus dengan nilai tertinggi dan sampai sekarang ilmu yang saya dapat di pondok tetap saya ajarkan kepada murid-murid yang saya ajarkan.

 


 Penulis yang lebih akrab dipanggil Pak Arief oleh siswa-siswinya ini mengajar di salah satu sekolah yang ada di Kabupaten Lombok Barat, tepatnya di SMA Negeri 1 Kuripan. Ia menyelesaikan studi S1 Pendidikan Sosiologi di salah satu Universitas yang ada di NTB (Nusa Tenggara Barat). Sebagai salah satu mahasiswa terbaik, dia membuktikan dirinya langsung diterima menjadi PNS setelah ikut tes dua bulan setelah lulus kuliah. Ia juga sudah menulis beberapa buku antologi bersama teman PGP Lombok Barat angkatan 2 diantaranya adalah Jejak Para Penggerak di Bumi Patuh Patut Pacu, Pendidikan Guru Penggerak. Disamping itu juga menulis buku bacaan untuk anak usia dini dengan menggunakan bahasa daerah Sasak, buku bacaan untuk anak Sekolah Dasar kelas bawah dengan judul Pahlawan Hutanku. Disela-sela mengajar ia juga menyibukkan diri mengikuti kelas BM (belajar menulis) PGRI angkatan 27. Diusianya yang sudah memasuki 40 Tahun dia semakin semangat dalam mengembangkan diri dalam menulis sehingga sekarang sedang mempersiapkan tulisan-tulisannya untuk buku antologi dan buku solonya. Sebagai guru ia berusaha untuk menjadi inspirasi untuk muridnya dan selalu sabar dalam mendidik muridnya, karena menurut beliau menjadi guru hebat itu ketika ia mampu mengantarkan muridnya menuju kesuksesan dan kebahagiaan tertinginya.



 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar